Tentang kepergian
beliau, tentang kesedihan yang masih bersenandung dalam hati, tentang ketegaran
yang pura-pura. Aku masih menjadi gina sipembohong ulung, bahkan aku masih
manjadi aku yang masih belum mengenal betul siapa aku. Beberapa waktuku hilang,
waktu yang tak mungkin lagi kembali, keadaan hati, gelisah, kehilangan, tangis,
air mata, berduka, terpuruk sampai akhirnya belajar lagi arti sabar dan ikhlas.
Satu ruang dalam hatiku
ini kosong terasa hampa, aku pikir sebelumnya tak akan mempengaruhi, ternyata
ini berpengaruh pada seluruh komponen hati yang lain. Tangis, menjerit, air mata,
kehilangan 100 hari sudah kepergian beliau dari sisi kami namun tidak pergi
dari hati. Pade, sebutan untuk kakek
sepeninggalan beliau masih mengisahkan kesedihan untuk aku dan ibu. Aku yakin
bahwa beliau akan sehat seperti sebelumnya hingga lupa diri bahwa umur adalah
milik ALLAH terlalu menunda waktu untuk mengunjunginya, menemani akhir usianya.
Sampai akhirnya beliau pulang, hancur sudah harapanku untuk berfoto seperti teman-temanku
yang sudah lebih dulu memakai Toga dan berfoto bersama keluarganya.
Sampai saat ini 100hari
sudah waktu berlalu air mataku masih belum kering, kenangan yang begitu
hangatnya membuat aku tidak ingin terlalu cepat untuk menyudahi. Mungkin aku
butuh mereka yang menemani aku saat tertawa, sekarang, saat ini juga!. Saat
dimensi waktu membawa aku jatuh begitu jauh dalam kesedihan dan kesendirian. Kadang
aku menjadi begitu kekanak-kanankan dimana aku membeci rasa begitu butuh
dorongan dan arahan semangat kawan-kawanku. Aku begitu membenci hal itu, kenapa
aku harus membutuhkan mereka? Sedang mereka hanya ada saat aku tertawa?! Perlukah
aku merintih seperti orang yang dalam kesendirian tengah sekarat karena
kesepian?! Aku butuh kalian sahabatku, tapi aku tak mau terlihat lemah di matamu.
Aku tak mau mengganggu waktumu, hanya untuk masuk dalam kesedihanku. Lagi-lagi
dalam dinding yang membatas ruang gerak, jarak pandang, aku hanyut lagi dalam
tangisan sepenjang malam,selama aku suka. Aku mengerakan tanganku untuk menulis
apa yang ingin aku tuliskan, aku ceritakan.
Benda ini lebih dari
sahabatku, aku menyerah untuk menganggap mereka sahabatku adalah segalanya
karena memang tak pernah begitu. Aku tak sampai hati meminta waktu mereka untuk
sama-sama menangis saat keadaan hati mereka baru saja berbunga seperti jatuh
cinta pertama kalinya. Aku menyerah, tiada mereka satupun sahabatku yang rela
berlama-lama mendengar ceritaku kecuali mereka yang selebihnya banyak bercerita
padahal saat itu aku benar-banar membutuhkan perhatiannya untuk meyakinkan aku
bahwa ada sahabat yang waktunya ada untukku. Aku kehilangan mereka, aku
kehilangan muridku, aku kehilangan pria gagah yang selalu menjengukku dengan
motor vespa miliknya, aku kehilangan kepercayaan.
Sosok
pade yang tergambar begitu jelas, ALLAH menciptakannya sebagai ayah dari ibuku,
banyak hal kekecewaanku pada beliau dimasalalu tentang beliau yang tak
memberikan kehidupan dan masa kecil-remaja-dewasa yang baik pada ibuku, namun lupakan
soal itu karna kita tidak hidup di masalalu. Bagaimanapun masalalu yang
katakanlah jauh dari layak untuk diceritakan setidaknya dimasa tua beliau
memberikan perhatiannya tulus, begitu hangat yang aku rasakan mungkin itu yang
membuat ibu masih amat sangat belum mempercayai kepergian beliau. Harapanku
yang paling tidak mungkin sewaktu beliau masih hidup adalah beliau bersatu dengan made dan kita menjadi
keluarga yang utuh agar aku tak perlu memanggil wanita lain dengan sebutan yang
sama “made” harapan tinggal harapan sepeninggalan Pade harapan itu menjadi
semakin tidak mungkin.
Cerita
tentang perceraian sudah tidak asing ditelingaku sejak aku menduduki kelas 2
Sekolah dasar, dorongan dari kanan dan kiri membawa aku akhirnya menerima,
menghormati pihak sebelah Mereka adalah keluarga pade (bukan keluargaku) tante
tiri, dan nenek tiri seolah terdengar menyeramkan ternyata masih bagitu polos
untuk dapat menerima kehadiran mereka sebagai keluarga tambahan, ALLAH
membuatkan aku skenario yang begitu sempurna hingga segala tercantum disana,
sebagaimana ibu yang berusaha membuat aku menjadi anak gadisnya yang tegar aku
rasa demikian DIA yang maha sempurna mempunyai alasan dan akan ku temui makna
dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Perlahan aku mengerti sebuah
tujuan aku diciptakan, makna 2 telinga dan 1 mulut.
Hidupku
barangkali adalah hidup yang orang lain idamkan, semuanya istimewa kesedihan
adalah penyeimbang kebahagiaan karena warna tak hanya putih dan hitam terimakasih
Tuhan atas segala rencana yang KAU buat untukku ALLAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan sampaikan komentar anda pada kolom yang tersedia.terimakasih