Sabtu, 27 Februari 2016

100 hari Ke-IKHLAS-an





Tentang kepergian beliau, tentang kesedihan yang masih bersenandung dalam hati, tentang ketegaran yang pura-pura. Aku masih menjadi gina sipembohong ulung, bahkan aku masih manjadi aku yang masih belum mengenal betul siapa aku. Beberapa waktuku hilang, waktu yang tak mungkin lagi kembali, keadaan hati, gelisah, kehilangan, tangis, air mata, berduka, terpuruk sampai akhirnya belajar lagi arti sabar dan ikhlas.
Satu ruang dalam hatiku ini kosong terasa hampa, aku pikir sebelumnya tak akan mempengaruhi, ternyata ini berpengaruh pada seluruh komponen hati yang lain. Tangis, menjerit, air mata, kehilangan 100 hari sudah kepergian beliau dari sisi kami namun tidak pergi dari hati. Pade, sebutan untuk kakek sepeninggalan beliau masih mengisahkan kesedihan untuk aku dan ibu. Aku yakin bahwa beliau akan sehat seperti sebelumnya hingga lupa diri bahwa umur adalah milik ALLAH terlalu menunda waktu untuk mengunjunginya, menemani akhir usianya. Sampai akhirnya beliau pulang, hancur sudah harapanku untuk berfoto seperti teman-temanku yang sudah lebih dulu memakai Toga dan berfoto bersama keluarganya.
Sampai saat ini 100hari sudah waktu berlalu air mataku masih belum kering, kenangan yang begitu hangatnya membuat aku tidak ingin terlalu cepat untuk menyudahi. Mungkin aku butuh mereka yang menemani aku saat tertawa, sekarang, saat ini juga!. Saat dimensi waktu membawa aku jatuh begitu jauh dalam kesedihan dan kesendirian. Kadang aku menjadi begitu kekanak-kanankan dimana aku membeci rasa begitu butuh dorongan dan arahan semangat kawan-kawanku. Aku begitu membenci hal itu, kenapa aku harus membutuhkan mereka? Sedang mereka hanya ada saat aku tertawa?! Perlukah aku merintih seperti orang yang dalam kesendirian tengah sekarat karena kesepian?! Aku butuh kalian sahabatku, tapi aku tak mau terlihat lemah di matamu. Aku tak mau mengganggu waktumu, hanya untuk masuk dalam kesedihanku. Lagi-lagi dalam dinding yang membatas ruang gerak, jarak pandang, aku hanyut lagi dalam tangisan sepenjang malam,selama aku suka. Aku mengerakan tanganku untuk menulis apa yang ingin aku tuliskan, aku ceritakan.
Benda ini lebih dari sahabatku, aku menyerah untuk menganggap mereka sahabatku adalah segalanya karena memang tak pernah begitu. Aku tak sampai hati meminta waktu mereka untuk sama-sama menangis saat keadaan hati mereka baru saja berbunga seperti jatuh cinta pertama kalinya. Aku menyerah, tiada mereka satupun sahabatku yang rela berlama-lama mendengar ceritaku kecuali mereka yang selebihnya banyak bercerita padahal saat itu aku benar-banar membutuhkan perhatiannya untuk meyakinkan aku bahwa ada sahabat yang waktunya ada untukku. Aku kehilangan mereka, aku kehilangan muridku, aku kehilangan pria gagah yang selalu menjengukku dengan motor vespa miliknya, aku kehilangan kepercayaan.
          Sosok pade yang tergambar begitu jelas, ALLAH menciptakannya sebagai ayah dari ibuku, banyak hal kekecewaanku pada beliau dimasalalu tentang beliau yang tak memberikan kehidupan dan masa kecil-remaja-dewasa yang baik pada ibuku, namun lupakan soal itu karna kita tidak hidup di masalalu. Bagaimanapun masalalu yang katakanlah jauh dari layak untuk diceritakan setidaknya dimasa tua beliau memberikan perhatiannya tulus, begitu hangat yang aku rasakan mungkin itu yang membuat ibu masih amat sangat belum mempercayai kepergian beliau. Harapanku yang paling tidak mungkin sewaktu beliau masih hidup adalah beliau bersatu dengan made dan kita menjadi keluarga yang utuh agar aku tak perlu memanggil wanita lain dengan sebutan yang sama “made” harapan tinggal harapan sepeninggalan Pade harapan itu menjadi semakin tidak mungkin.
          Cerita tentang perceraian sudah tidak asing ditelingaku sejak aku menduduki kelas 2 Sekolah dasar, dorongan dari kanan dan kiri membawa aku akhirnya menerima, menghormati pihak sebelah Mereka adalah keluarga pade (bukan keluargaku) tante tiri, dan nenek tiri seolah terdengar menyeramkan ternyata masih bagitu polos untuk dapat menerima kehadiran mereka sebagai keluarga tambahan, ALLAH membuatkan aku skenario yang begitu sempurna hingga segala tercantum disana, sebagaimana ibu yang berusaha membuat aku menjadi anak gadisnya yang tegar aku rasa demikian DIA yang maha sempurna mempunyai alasan dan akan ku temui makna dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Perlahan aku mengerti sebuah tujuan aku diciptakan, makna 2 telinga dan 1 mulut.
          Hidupku barangkali adalah hidup yang orang lain idamkan, semuanya istimewa kesedihan adalah penyeimbang kebahagiaan karena warna tak hanya putih dan hitam terimakasih Tuhan atas segala rencana yang KAU buat untukku ALLAH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan sampaikan komentar anda pada kolom yang tersedia.terimakasih